Teach Me [Prolog+Bab 1]

Prolog

“Yuri, ada yang inginakukatakan.”, ucap Teru pasti.

“Teru?”,sahutku penuh harap.

“Aku menyukaimu Yuri!”,ucap Teru lagi dengan nada tegas.

“Hah?”,aku terperanga tidak percaya. Bahkan lidahku terasa begitu kaku untuk membalas pernyataan Teru barusan. Bagaimana tidak? Pernyataan Teru seperti sekarang inilah yang telah lama kutunggu!!!

“Te.. Teru…”, ucapku gugup.

~~

“YURI!”, terdengar suara laki-laki yang berbeda  memanggilku. Jelas itu bukan suara Teru, namun suara itu tidak asing untukku.

“Yuri! Bangun! Mau berangkat sekolah jam berapa?!”, teriak ayah terdengar dari balik pintu kamarku.

“Emp??”, aku sedikit membuka mataku yang terkatup. “Aish! Mimpi ya? Hah~ Cuma mimpi…”, gumamku kecewa dengan kenyataan.

“Yuri cepat bangun !!! Berangkat sekolah!!!”, lagi-lagi teriakan ayah yang menggelegar dari balik pintu membangunkan aku. “Ukh! Memang sekarang jam berapa sih?”, tanganku bergerak mencari-cari jam weker tak berguna seutuhnya itu *meski jam weker  tapi tak pernah bisa membangunkan Yuri. Dan dapat! Jam weker yang tadinya diam manis di meja belajar kini berpindah tempat di tanganku. “Ng…”, aku berusaha melihat arah jarum jam itu mentok di angka berapa.

Eng Ing Eng! *backsound gje

Mataku kini melotot.

“KYAAAAAAAA!!! Jam setengah 7 pagi!!! AKU TELAT!!!”

♥☺♥

Bab I

“Selamat makan!”, salamku semangat saat memulai makan malam.

“Yuri”, panggil ayah tiba-tiba.

“Hm?”, sahutku tanpa menghentikan kunyahan di mulutku.

“Ayah ingin kamu lebih serius sekolah dan belajar mulai saat ini.”, ucap ayah dengan nada serius.

Aku sejenak berhenti makan. “Duh ayah, jangan bicarakan masalah sekolah ataupun belajar dong. Yuri ‘kansedang makan. Nanti nafsu makan putri manismu hilang loh.”, aku merajuk.

“Kamu ini sudah kelas 3 SMU, kamu harus sudah berpikir untuk masuk ke Universitas!”, tegas ayah.

“Eh?!”

“Ayah… ayah ‘kanseorang ayah terhebat di dunia. Ayah seorang dosen senior di Universitas T. Pasti ayah bisa memasukkan anak ayah yang satu-satunya ini ke Universitas T…”, rajukku lagi dengan manja.

“Anak ayah yang satu-satunya ini… Sejak kapan punya jiwa nepotisme?!”, ucap ayah dengan nada yang mulanya lembut di awal kemudian terdengar tertekan di akhir.

“Yuri yakin dengan sangat kokMemasukkan satu anak dosen kawakan *halah seperti ayah itu bukanlah hal yang sulit.”, kataku dengan nada yang terdengar licik ala koruptor.

“Hahaha… Jadi begitu ya? Semudah itu? Anak ayah memang…”

“Pintar! Yuri kanmemang anak pintar!”, potongku PeDe dan bangga.

“P.I.C.I.K!”, ayah melotot tanda murka *ampun!!!

“Eh?! Ayah kokgitu sih???”

“Ayah tidak mau kamu manja! Kamu harus tetap mengikuti ujian tes masuk ke Universitas T seperti yang lainnya!”

“Ayah ribet ah… Nanti jika aku tidak lulus, pasti ayah juga yang akan malu.”

“Jika kamu tidak lulus ujian tes masuk, lebih baik kamu masuk ke universitas lain saja yang tidak perlu mengikuti ujian tes masuk. Itu akan lebih baik!”

“Kok ayah jahat, tega, kejam gitu sih! Ibu, ayah kok berkata seperti itu padaku???”, rengekku mengadu pada ibu yang dari tadi tidak berkomentar dengan perdebatan ayah dan anak di ruang makan itu.

“Ayahmu benar, dengarkan kata-kata ayahmu itu.”, bela ibu. Pembelaan untuk ayah yang membuatku semakin terpojok saja.

“Ibu?! Ukh!”

Aku terdiam sejenak dan kembali berpikir.

“Baiklah. Aku akan dengan senang hati mengikuti ujian tes masuk universitas, aaaasal…….”, kataku menggantung. “Lulus tidak lulus aku tetap masuk ke Universitas T, jadi itu hanya formalitas belaka.”, sambungku mantap.

“Yuri! Masih tidak mengerti juga ya? Baik ayah perjelas ka-mu ha-rus ma-suk u-ni-ver-si-tas T tan-pa a-da ban-tu-an da-ri a-yah! Dengan kata lain semua dengan usahamu sendiri!”

“Ah~ ayah… Jangan berkata sepeti itu…”, kataku dengan nada merayu –lagi-.

“Jangan manja Yuri!”, tolak ayah tak tergoyahkan bagai batu karang.

GLEK.

Jidatku mulai mengkerut kayak nenek-nenek susah mikir. “Ternyata ayah kali ini benar-benar menyebalkan!”, gerutuku.

Dimulailah acara mengerutkan dahi disertai bibir manyun selama makan malam berlangsung, berharap dalam hati semoga ayah berubah pikiran dan mau memasukkan aku ke Universitas T tanpa syarat. Setelah ditunggu-tunggu, berharap ayah berbicara bahwa ia berubah pikiran. Sungguh! Ayah sama sekali tidak berbicara atau setidaknya membujukku untuk tidak terus mengerutkan wajahku. Sampai pegal rasanya wajahku. Bahkan makan malam kali ini berakhir sunyi senyap, tak ada suara lain yang menyaingi tuan jangkrik dari halaman belakang.

♥☺♥

Drrrt … drrrt … drrrt…

Ponselku bergetar saat aku meniti langkah untuk pulang *cuih!. Ternyata ayah mengirim pesan singkat.

Yuri, cepat pulang. Ada yang ingin ayah bicarakan padamu.

Waaah, ada apa ya? Kok ayah tiba- tiba menyuruhku pulang cepat seperti ini?? Mungkin ayah sudah berubah pikiran tentang kata-katanya semalam. Dan ayah mau memasukkan aku ke Universitas T tanpa syarat, pikirku senang dan bergegas pulang.

Begitu sampai depan gerbang rumah aku melihat ada sebuah motor terparkir. Motor itu asing bagiku, karena aku baru pertama kali melihat motor itu ada di rumah. Motor siapa ya?? Ng.. mungkin tamu ayah…

“Aku pulang!”, salamku saat memasuki rumah.

Terlihat di ruang tamu sekaligus ruang tengah itu, ada ayah dan seorang cowok duduk bersebrangan. Mereka saling berbincang-bincang. Aku tidak begitu mempedulikannya, karena aku bergegas ke lantai atas di mana kamarku berada.

Selesai berganti pakaian, aku meluncur ke dapur.

“Ng.. apa ibu tau siapa cowok yang ada di ruang tengah itu bersama ayah??”, tanyaku menyelidik pada ibu yang kutemui di dapur.

“Ayah  bilang itu salah satu mahasiswa didikan ayah di kampus.”, jawab ibu datar sambil menuangkan 2 gelas minuman.

“Oh… Ternyata benar itu tamu ayah..”, gumamku.

“Ada apa Yuri?”

“Tidak kok. Eh, ibu apa minuman itu untuk disuguhkan??”

“Iya. Kenapa?”

“Yuri yang bawakan saja ya?”, ucapku menawarkan diri.

“Bawa saja, memang tadinya ibu berniat menyuruhmu.”

Tanpa basa basi lagi aku langsung mengantarkan minuman itu ke ruang tengah.

♥☺♥

“Silakan diminum.”, ucapku mempersilakan.

“Yuri, duduk di sini.”, suruh ayah tiba-tiba.

“Ya?”, aku pun menurut dan duduk manis di sebelah ayah.

Inikah saatnya? It’s show time Yuri!!! Katakan ayah!!! Ayah akan memasukkanku ke Universitas T tanpa syarat!!!, pikirku  kegirangan. Senyum optimis nan lebar terkembang di bibirku.

“Kenalkan, ini putri bapak yang tadi diceritakan.”, ucap ayah memperkenalkanku ke cowok mahasiswa itu. Jujur, aku sama sekali tidak menganggap keberadaannya dari awal. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Touya Ikeda”, cowok itu menyebutkan namanya.

Bukannya balas menyebutkan nama aku malah bengong memandanginya. Ukh, penampilan cowok ini pasaran sekali. Dengan kaos putih dilapis kemeja khas anak kuliahan yang standar tanpa dikancing. Biasa-biasa saja, pikirku men-judge seenaknya. Ng.. tapi, kenapa aku melihat wajah orang ini seperti tidak asing. Ah paling juga gara-gara gayanya yang pasaran, jadi wajahnya pun pasaran-haha.

“EHM!”, ayah berdeham keras. Dehamannya menyadarkanku.

“Eh?! Yuri Sagara!”, akhirnya aku refleks balik menyebutkan namaku.

“Yuri, ayah akan membantumu masuk ke Universitas T…”

Apa kubilang! Ayah pasti berubah pikiran!, gumamku dalam hati dengan optimis yang overdosis.

“Tapi ayah tidak bisa membantumu sendirian, maka dari itu Ikeda inilah yang akan membantumu masuk ke Universitas T.”, lanjut ayah.

“Ya?!”, sahutku bingung. “Maksud ayah?”

“Ikeda, mahasiswa didikan ayah ini yang akan memberikan bimbingan belajar privat untukmu mulai besok.”, jelas ayah.

JEGGERR!!

Serasa sebuah pesawat jet menghantam kepalaku.

“Apa?! Tu, tunggu ayah!! Ini bukan yang kita bicarakan saat makan malam?!”, ucapku refleks menentang keras dengan nada yang cukup keras juga.

“Yuri, jaga sikapmu!!!”, bentak ayah.

Suaraku tadi memang cukup keras, mungkin setara dengan kokok ayam di pagi hari. Setidaknya, mampu mengagetkan ayah dan cowok itu di siang hari seperti ini.

“Mm.. ma, maaf.”, ucapku sambil sedikit membungkukkan tubuhku.

♥☺♥

“Ayah! Apa maksud ayah mengirim mahasiswa ayah untuk membimbingku belajar?!”, ucapku kesal beberapa saat setelah cowok mahasiswa bernama Touya Ikeda itu pergi.

“Ya, maksud ayah membantu kamu untuk masuk ke Universitas T.”, kata ayah ringan.

“Tau begini aku tidak mau mendapat bantuan dari ayah!”, ucapku penuh nada penyesalan.

“Boleh saja. Tapi jangan harap kau bisa merengek lagi minta bantuan ayah. Karena di saat kau merengek ayah sudah tidak akan mendengarmu lagi.”, ucap ayah tegas dan terdengar agak mengancam.

“Ke, kejam! Kok ayah berkata seperti itu sih?”

“Lalu apalagi yang harus ayah katakan?”

“Huh, ayah sungguh menyebalkan! Sampai repot-repot mendatangkan mahasiswanya hanya untuk memberikanku bimbingan belajar privat. Aku kan tidak sebodoh itu!”, gerutuku.

“Memang Yuri tidak bodoh tapi Yuri juga tidak sepintar ayah ataupun Ikeda. Dia itu mahasiswa jurusan sastra yang pintar dan aktif di kampus loh! Bahkan kuliah yang seharusnya diselesaikan sekitar 5 tahun, sudah mau beres dalam waktu 4 tahun sekarang. Dan…”, kata ayah yang tak ada habisnya membanggakan seorang Touya Ikeda.

“Dan… bla bla bla bla. Hanya mahasiswa yang pintar dan culun.”, gerutuku memotong 1001 pujian ayah, pada seseorang yang akan menjadi guru les privatku.

“YURI! KAU HARUS MENGHORMATI IKEDA!!!”, bentak ayah. Bentakannya sukses membuatku kaget setengah mati sampai aku serasa mematung.

♥☺♥

Esoknya seperti apa yang ayah katakan, les bimbingan belajar privatku dimulai. Dan sepakat lesku dijadwal seminggu 3 kali saja. Huh, malas rasanya! Mana kulihat si Touya bawa buku banyak banget, belum lagi buku-buku itu terlihat tebal.

“Yuri, coba kau baca dan pelajari buku-buku ini terlebih dahulu.”, suruh Touya monyodorkan 3 buku tebalnya.

“Semua??”, tanyaku tak percaya.

“Semuanya.”, tegas Touya. “Jika ada yang tidak kau mengerti tanyakan saja padaku.”, tambahnya.

“Touya, apa kau bercanda? Masa semua buku ini harus kubaca??”, protesku.

Touya menoleh padaku dengan pandangan yang tidak menyenangkan.

“Tadi kau panggil aku apa?”, ucapnya jutek.

“Touya? Namamu Touya kan??”

“Apa kau tak punya etika memanggil orang? Aku ini gurumu dan aku juga lebih tua darimu. Tak bisakah kau memanggilku lebih hormat?! Setidaknya dengan memanggil nama keluargaku?!”, ucap Touya sok.

“Aish?! Berapa sih umurmu sampai aku harus begitu homat padamu? Maksudku kan hanya terdengar lebih akrab saja?!”, ucapku berdalih. Padahal aku memang malas saja jika harus menyebut nama keluarganya.

“Umurku mungkin hanya selisih 3 tahun denganmu tapi karena aku ini gurumu maka sudah sepatutnya kau hormat padaku!”, ucap Touya kini nadanya yang memerintah itu makin menjadi saja.

“Cih! Baru jadi guru les privatku saja sudah sombong dan banyak memerintah.”, cibirku pedas.

“Kau, gadis cilik aku tidak mau membuang- buang waktuku untuk meladenimu. Cepat kau baca buku-buku itu!”

“Hah?! Apa?! Apa katamu? Siapa yang kau sebut gadis cilik?!”, emosiku tersulut.

“Kau pikir siapa lagi??”

Apa?! Aku tidak menyangka dia ternyata orang yang lebih menyebalkan dari yang kulihat kemarin.

“Ukh!!! Dengar ya, aku sudah 17 tahun! Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi!!! Bisa-bisanya kau menyebutku seenaknya, padahal barusan kau sendiri menceramahiku tentang etika memanggil orang!!!”, serangku.

“Bukankah kau duluan yang memanggilku seenaknya? Meski kau seumuran dengan adikku, tapi kelakuanmu tidak lebih baik dari anak SD.”, balas Touya datar.

“Apa aku seumuran dengan adikmu atau tidak bukan urusanku!!!”, aku benar-benar dibuat kesal oleh orang ini.

“Sudahlah kali ini aku maklumi, baca buku-buku itu sekarang!”, ucap Touya memerintah lagi-lagi-dan-lagi.

Akhirnya dengan penuh kekesalan aku masih bersabar diri untuk menuruti kata-katanya.

Sungguh, baru hari pertama saja aku dibimbingan olehnya sudah membuat hatiku kesal setengah mati! Bagaimana aku bisa menghadapi hari-hari selanjutnya ke depan?? Kalau bukan terpikir karena ancaman ayah kemarin, aku akan berontak!

Pada akhirnya aku hanya memanggilnya dengan sebutan kau atau tak menyebut panggilan yang pantas sama sekali. Bahkan aku sudah menyiapkan sebutan yang pantas jika aku mengumpat padanya,Pak Tua.

♥☺♥

“Karin, pulang bareng yuk? Kita main-main di Shibuya!”, ajakku pada Karin sahabatku sepulang sekolah.

“Boleh tuh, yuk!”, ucap Karin menyambut ajakanku.

Belum sampai ke gerbang sekolah, aku sudah melihat seorang cowok berdiri tak jauh dari motornya.

Ukh, sial.

“Yuri!”, panggil Touya.

Aku langsung menyembunyikan wajahku dan pura-pura tidak mendengar Touya memanggilku. Tapi si Pak Tua itu tetap memanggilku.

“Yuri, sepertinya cowok tampan itu terus memanggilmu.”, kata Karin heran.

“Cowok tampan? Katarak deh?! Jangan hiraukan dia, langsung pergi saja!”, kataku terburu-buru.

“Iiih, kau juga kenapa sih??”

Meski aku sudah mencoba bersembunyi di antara anak-anak lain yang bubaran sekolah Touya tetap menyadarinya. Dia langsung menarik tanganku.

“Mau pergi ke mana, hah?”, tanya Touya mencegatku.

“Eh? Aku mau pergi bersama teman. Untuk hari ini aku ingin izin dulu tidak les ya…”, jawabku.

Entah apa yang dipikirkan Pak Tua itu, tiba-tiba dia menghampiri Karin.

“Maaf, apakah kamu temannya Yuri?”, tanya Touya ramah pada Karin.

“Ha~h… iya… Ng, kamu siapa ya??”, jawab Karin dengan nada yang terpesona. Dan sempat-sempatnya bertanya Touya itu siapa.

“Aku Touya Ikeda, guru les privatnya Yuri. Boleh aku meminta sesuatu padamu?”, ucap Touya  benar-benar ramah, bahkan ia tersenyum manis di depan Karin.

Ng.. kok sepintas melihat senyum Touya tadi, aku seperti sudah sering melihat wajahnya? Yuri, apa sih yang kau pikirkan?! Dia kan hanya mahasiswa berwajah pasaran!, aku menepis pikiranku.

“Eh?! Aku Karin Otsuka teman dekatnya Yuri. Touya mau minta apa?”, kata Karin seperti terhipnotis.

Aduh! Apa-apaan sih Karin memperkenalkan diri seperti itu?!

Touya tersenyum lagi. “Karin, apa aku boleh meminjam Yuri dulu hari ini? Karena seharusnya Yuri ada jadwal les sepulang sekolah.”, pinta Touya lembut.

“Ha~h… he-eh pinjam saja. Boleh kok..”, Karin mengiyakan permintaan Touya begitu saja.

“Terima kasih, Karin.”, ucap Touya.

“Hey?! Karin mana bisa begitu?! Aku bukan barang! Kok pinjam-pinjam sih! Karin kau bagaimana sih? Kita kan mau main?? Masa kau biarkan cowok ini merusak rencana kita??”, teriakku sewot.

“Tak apa Yuri, kita kan bisa main-main lain kali. Masih ada hari esok. Sebaiknya kau banyak belajar ya! Sekalian perbaiki nilai Matematika dan bahasa Inggrismu yang di bawah rata-rata orang normal itu.”, kata Karin sok tua dan membukakan aib sambil menepuk bahuku. Terlihat Touya menatapku dan menahan tawa.

“Ka, kau!!!!! Seperti nilaimu lebih baik dariku saja!!!”, serangku. Tapi Karin tetap tersenyum dan terpesona memandangi Touya.

“Oh ya, boleh aku meminta sesuatu lagi??”, ucap Touya mulai meminta lagi.

“Eh?! Apa? Boleh kok katakan saja!”, sambut Karin malah kegirangan.

“Aku boleh minta nomor ponselmu? Untuk jaga-jaga, jika lain kali Yuri berniat bolos les lagi. ”

“Tentu saja dengan senang hati!”, ucap Karin sumringah. Mungkin dia sedang merasa dapat durian runtuh.

“A,apa? Ka,Karin!!!”, jeritku kesal. Tapi Karin tetap mengabulkan permintaan si Pak Tua.

Karin dan Touya langsung mengeluarkan ponselnya untuk saling bertukar nomor ponsel.

“Aku ucapkan terima kasih lagi ya. Baiklah kami pergi duluan.”, pamit Touya pada Karin, lalu langsung menarik tanganku dan membawaku ke motornya.

“Eh?!”, pekikku.

“Pakai helm ini!”, suruh Touya berubah sikap padaku.

Ish?! Kenapa sikap bicaranya berbeda padaku? Sepertinya orang ini playboy ulung!, umpatku dalam hati. “Untuk apa? Memang kita mau ke mana?”, tanyaku.

“Nanti kau juga akan tau. Dan helm itu untuk menutupi wajah gadis cilik yang manyun.”, jawab Touya asal.

“Apa?!”

“Cepat pakai helm dan naik ke motor!”, suruh Touya lagi. Kali ini aku menurut.

“Ish! Apa dia orang yang tidak bisa menjawab pertanyaan dengan benar? Jika begini bagaimana mungkin ayah bisa memilihnya jadi guru privatku? Dasar menyebalkan sekali!”, gerutuku misuh-misuh dibalik helm.

Motor Touya melaju dengan cepat, aku tidak tau akan dibawa ke mana. Semoga dia tak berniat untuk menculikku lalu meminta tebusan sejumlah uang pada ayah dan ibuku. Aku mungkin berlebihan.

Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Ng… kok aku seperti mengenal rumah ini?, pikirku sambil mengingat-ingat. Kami masuk ke rumah itu, aku menelisik seisi rumah.

“Eh, ini rumah siapa? Kenapa kau bawa aku ke sini?”, tanyaku.

“Ini rumah keluargaku, aku membawamu ke sini karena ada buku materi yang tertinggal. Jadi sekalian saja hari ini kau les di rumahku. Aku sudah bilang pada ayahmu kok.”, jelas Toya.

“Oh… Rumahmu terlihat sepi. Memang orang-orang di rumahmu pada ke mana?”, tanyaku lagi.

“Ayahku memang sedang berada di luar negeri, ibuku sedang keluar rumah, dan adikku mungkin sebentar lagi ia pulang sekolah.”, jawab Touya terperinci. “Eh, kau banyak tanya sekali sih!”, omel Touya kemudian.

“Ih, sekalinya kau jawab pertanyaanku dengan benar sudahnya langsung mengomel.”, keluhku.

“Terserahlah, aku mau ganti baju dulu. Kau tunggu saja di situ.”, Touya lalu pergi ke kamarnya.

Ah, aku berarti bisa tenang kalau adik Touya akan pulang sebentar lagi. Jadi aku tidak akan berpikir macam- macam. Kan bahaya di rumah sepi seperti ini aku dan Touya hanya berdua saja. Eh?! Tunggu dulu, adik Touya itu cowok atau cewek ya?? Bagaimana jika adiknya itu cowok?? Jangan-jangan Touya sudah berkomplot dengan adiknya?!, aku terus-terusan berpikir yang tidak-tidak dan membuatku panik sendiri.

Apa?! Bagaimana ini?!

“Aku pulang!”, terdengar suara cowok mengucapkan salam.

Waaaaaaa, benar kan ternyata adik Touya itu cowok!!! Aku langsung memeluk erat tasku parno berlebihan.

Mulanya adik Touya itu seperti tidak menyadari keberadaanku. Itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba ia menoleh, tapi aku sama sekali tidak mau melihatnya.

Eh, eh, eh!! Dia malah mendekat!!

“Kau siapa?”, tanyanya padaku.

Aku beranikan untuk sedikit menoleh. Dan ternyata…

TAAADDAAA!!!¶¶¶

Wajah yang sering masuk ke dalam mimpiku kini hadir di dunia nyata. Apa aku sedang bermimpi lagi?? Tidak, aku tidak bermimpi!!!

“Kau?? Kau Yuri kan??”, tanyanya kaget.

“Teru?!”

♥☺♥

“KAAARIIIN!!!!!”, panggilku sumringah.

“Aduh?! Apa sih semangat amat pagi-pagi begini??”, Karin terheran-heran.

“Iiiih!!! Tau tidak?”, tanyaku dengan nada gemas.

“Apa?”

“Kemarin aku ke rumah si Pak Tua loh!!!”

“Ke rumah kakekmu? Kenapa sesemangat itu sih? ”

“Eh, bukan begitu. Maksudku, aku ke rumah Touya.”

“Wah?! Benarkah? Kau ke rumah guru tampan itu?? Ceritakan!!”, kini berbalik Karin yang terlihat semangat sumringah. “Eh, bukannya kau tidak mau ikut dengan Touya kemarin?? Kenapa kau jadi senang begini?”, Karin kembali heran.

“Awalnya sih gitu… Tapi semuanya berubah waktu aku bertemu dengan Teru.. Ha~h…”, kataku dan terbayang lagi saat-saat indah bersamanya.

“Hah? Kau bicara apa sih?”, kata Karin aneh.

“Ternyata si Pak Tua tinggal satu atap dengan Teru…”, ucapku masih terbayang-bayang.

“Oh, Teru si cinta terpendammu itu kan? Kok bisa??”

“Ah! Itu dia yang bikin aku agak sebal juga!”, ucapku berubah dengan nada yang sebal.

“Kau ini kenapa sih?!”, Karin mulai ngeri dengan emosiku yang gampang naik turun kayak harga sembako.

“Ternyata Teru itu adik kandungnya Touya… pantas saja saat ke rumah Pak Tua aku seperti tidak asing, dan wajah Touya juga yang kupikir pasaran itu ternyata dilihat lebih dekat mirip dengan Teru. Belum lagi, kenapa aku bisa lupa nama keluarga Teru itu Ikeda?!”, jelasku dengan nada normal.

“Oh… Aku sih tak heran kau lupa itu semua. Ingatanmu itu kan buruk sekali.”, celetuk Karin.

“Ish! Kau ini!”, kataku gemas. “Ha-h, aku masih tidak percaya mereka itu adik kakak kandung. Meski aku sudah bertanya pada Teru memastikan kalau Touya bukan anak angkat…”, ucapku lagi.

“Kau tega sekali berpikir Touya anak angkat.”

“Biar saja… Habis sulit dipercaya. Meski wajah mereka mirip tapi tetap saja aku susah percaya… Apalagi dilihat dari gayanya mereka bertolak belakang! Teru itu keren dan modis sedangkan Pak Tua itu culun dan kuno!”, keluhku.

Karin terdiam sejenak, ia seperti berpikir. Dan tak lama ia mengatakan sesuatu yang jenius, sangat jenius melebihi Albert Einsten bagiku J

“Terserahlah.. Mmm… kalau menurutku sih, bukankah ini jadi peluang untukmu mendekati Teru??”

♥☺♥

Akhirnya, aku bisa pindah tempat les jadi di rumah Touya. Dengan berbicara meminta, membujuk, dan merayu pada ayah. Dengan seribu satu alasan karanganku yang tidak masuk akal tapi pada akhirnya alasanku bisa diterima juga.

“Hohoho!”, aku tertawa sendiri sambil berpikir excited di depan gerbang sekolah menunggu Touya datang menjemputku. Lebih menyenangkan lagi jika Teru yang menjemputku.

Sebuah mobil semacam Honda CR-V (itu kalo di Indonesia)  berwarna hitam metalic menawan berhenti di depanku.

TINDIINN!!!

Pengemudi mobil itu mengklakson mobilnya seakan memberiku isyarat. Akupun coba menghampiri mobil itu.

Kaca sebelah kiri tempat supir terbuka.

“Masuklah!”, suruh Touya.

Akupun menurut.

“Kenapa Touya eh! Pak Tua eh! Maksudku Pak Ikeda membawa mobil? Biasanya kan Pak Ikeda membawa motor??”, tanyaku heran.

“Kalau begitu lain kali aku akan bawa kereta kuda saja.”, ucap Touya asal dengan nada yang dingin.

“Eh?!”

Kenapa responnya begitu sih? Apa dia sedang bercanda??

“Kenapa kau tiba-tiba meminta pindah tempat les? Terus kenapa kau minta jemput segala?”, tanya Touya dengan nada yang jelas keberatan.

“I..tu karena aku bosan  dengan suasana belajar di rumahku. Dan… kenapa aku minta jemput, karena aku sedikit lupa jalan menuju ke rumahmu..”, jawabku dengan alasan yang tidak cukup meyakinkan untuk siapa pun yang mendengarnya.

“Kau ini sungguh mengada-ada. Kalau kau tidak hapal jalan ke rumahku, kenapa harus pindah tempat segala? Bukankah di rumahmu akan lebih enak?”, tanya Touya masih belum puas.

“Kan sudah kubilang alasannya..”

“Dasar gadis cilik yang benar-benar manja!”, cibir Touya.

“Ish?!”, aku mendengus. “Tenang saja! Setelah aku hapal jalan ke rumahmu, aku tidak akan minta jemput lagi kok!”

Stop Yuri! Bersabarlah! Dia ini calon kakak iparmu!

Sesampainya di rumah Touya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Teru sudah pulang sekolah. Aku langsung sambar saja mengajaknya ngobrol. Touya memandangku heran dengan sikapku.

“Ng.. Pak Tua, ups! Maksudku Pak Ikeda, sepertinya bapak terlihat lusuh dengan pakaian itu. Mungkin sebaiknya Pak Ikeda berganti pakaian dulu.”, usirku dengan dalih mengusulkan. Maksudku sih agar  bisa lebih bebas mengobrol dengan Teru.

“Gadis cilik, kau begitu perhatian padaku. Baiklah, aku akan ganti pakaian dulu.”, ucap Touya dengan nada sebal dan sinis padaku lalu ia pergi ke kamarnya. Sepertinya ia tau maksudku mengusirnya secara halus.

Muluslah rencanaku mengobrol dengan Teru, meski hanya sekedar nostalgia masa SMP. Kami mengobrol memang tidak lama, tapi bersama Teru sebentar saja sudah cukup membuatku senang.

♥☺♥

“Yuri, Mamoru tuh!”, panggil Karin sepulang sekolah.

“Mamoru? Ada apa?”, tanyaku heran.

“Hm?”, Karin mengangkat bahu. “Mungkin ingin menyatakan perasaan padamu?!”, bisik Karin menduga.

“Ish, dasar sembarangan!”, aku menepis dugaan Karin.

“Hihihi. Eh, jika dugaanku benar kau mau menerimanya?”, tanya Karin usil.

“Menurutmu?”, jawabku berteka-teki.

“Hanya menambah daftar cowok yang kau tolak.”, tebak Karin.

Aku hanya menyunggingkan senyum tipis. Lalu pergi menemui Mamoru yang sudah menungguku di depan pintu kelas.

“Mamoru? Maaf menunggu lama.”, sapaku.

“Tak apa. Aku hanya ingin berbicara dengan Yuri. Ng.. apa bisa ikut aku sebentar?”, ajak Mamoru ramah.

“Eh? Boleh?”

Eh? Melihat gerak-geriknya Mamoru seperti ini sih, dugaan Karin bisa-bisa benar. Ah, lebih baik kuikuti dulu saja.

Mamoru mengajakku ke halaman belakang sekolah yang sepi dan teduh. Pada awalnya ngobrol basa-basi busuk, kemudian dugaan Karin terbukti. Mamoru menyatakan perasaannya padaku.

“Maaf, tapi untuk sekarang ini aku sedang tidak bisa pacaran dengan siapa pun. Aku mohon jangan berpikir yang buruk tentangku.”, tolakku berusaha dengan nada sehalus mungkin.

“Kenapa seperti itu? Berikan aku alasan!”, Mamoru tak langsung menyerah.

“Aku tidak bisa pacaran sekarang ini karena aku harus belajar. Ayahku ingin aku masuk Universitas T. Aku yakin Mamoru mengerti keadaanku sekarang dan bisa menerima keputusanku.”, ucapku dengan nada yang terkesan berat.

“Kenapa Yuri begitu yakin aku bisa mengerti keadaanmu?”, Mamoru masih tak bisa menerima.

“Karena aku mengenal Mamoru.”, kataku berusaha menegaskan dengan halus.

Raut wajah Mamoru benar-benar terlihat kecewa kali ini. Akhirnya ia menyerah.

Hening sejenak.

“Kuharap kita dapat terus berteman..”, ucapku.

Mamoru merespon dengan senyum hampa. Lalu ia pergi  tanpa berbicara apa-apa lagi.

Aku terdiam di tempat itu beberapa saat. Sampai akhirnya kuputuskan untuk pergi juga. Tapi saat aku berbalik…

“Touya?!”

♥☺♥

Tinggalkan komentar